I Thought We are Friend

Aku senang berbicara denganmu. Ada banyak sekali topik yang kita diskusikan. Dari satu pertanyaan pun penyataan, kita mulai perjalanan dengan kereta cakap. Bertukar cerita, candaan, atau sedikit wawasan yang dimiliki adalah rangkuman singkat dari rentetan seni pikir.

Sampai dengan beranjaknya waktu menjadi hitungan bulan, satu pertanyaan yang terucap dari bibirmu menyadarkanku bahwa di antara kita sekiranya terjadi kesalahpahaman.

Topik-topik yang selalu menemui akhir persetujuan kali itu bersembunyi bersama dengan surya yang melambai di pandangan.

"What do you think about us?" tanyamu seusai sesi diskusi tentang sapi-sapi yang berbaris di ujung bukit.

"Yang jelas kita bukan sapi-sapi yang lagi digiring itu." Jawabku ringan karena kupikir itu hanya pertanyaan lelucon yang biasa menghiasi obrolan kita.

Namun, bagaimana selanjutnya kamu merespons tawaku, pikiranku segera melarikan diri bersama sepoi angin sore itu.

"No, what i meant is do you get sparks whenever we talk? Do you feel something between us? What do you think?"

Aku memandangmu penuh keterkejutan. "Don't you say you...."

"I do. I got all sparks whenever we talk, see your smile, laugh, and forehead wrinkles. I get it whenever I think of you," ujarmu lugas dengan mata yang terpaku padaku.

Sorotmu masih saja teduh sekalipun kesungguhan kini tergambar di iris mata kecoklatan itu. Aku bahkan tidak memiliki daya untuk sekadar mencari objek lain yang dapat mengalihkanku.

Seakan mengerti ketidakmampuanku kali ini dalam memahami, tanganmu memegang pundakku lembut, memberi ketenangan. "Hei, that's okay if you don't feel the same things. I'm just asking, not forcing, okay," lirihmu dengan tersenyum. "Udah mulai gelap. Kita pulang aja, yuk."

Sore itu, bersama kembalinya mentari ke sisi lain bumi, kembali pula rasa asing seperti awal temu di Palasari. Menjadikan tukar cakap menjelma sebuah tapa, pun pertemuan nihil terlaksana.

Komentar

Postingan Populer